Krisis Pendidikan (1)

Krisis Pendidikan (1)

Dalam proses lmplementasi dan individuasi suatu sistem pemikiran pendidikan, selalu terjadi dialog sosial antara yg ideal seharusnya, dg kondisi yg ada dari peserta didik (dlm suatu masyarakat). Sejarah selalu menunjukan terjadinya gap yg jauh, namun selalu juga ada upaya jalan tengah yakni sesuatu "yang mungkin", yg menjembatani antara yg ideal dg yg faktual, sehingga yg norma ideal mendapat penghampiran empiris dan yg faktual mendapat penghampiran ideal, yg bisa sebagai sintesa. Pada masa Mesir kuno pendidikan dimaksudkan tuk membangun manusia  susila makhluk yang berbakti pada dewa-dewa, sehingga penyelenggaranya adalah para agamawan (pendeta). Dalam masyarakat India purba dengan agama Hindunya juga telah melaksanakan pendidikan dimana tujuan pendidikannya adalah menanamkan pd manusia kesabaran, penyerahan diri, dan kepatuhan; dalam masyarakat china klasik, pendidikannya diselenggarakan oleh negara dengan tujuan mendidik manusia menjadi kepala keluarga yang baik dan setia, ilmuwan dan pegawai pemerintah yang jujur, rajin serta rela berbakti (I Djumhur); Bangsa Sparta Kuno, menjadikan pendidikannya untuk membentuk manusia yang penuh keberanian, mampu menghadapi berbagai tantangan, hormat dan patuh terhadap pimpinan, berjiwa patriot dan loyal terhadap negara; bangsa Athena punya tujuan pendidikan membentuk manusia paripurna yang mempunyai kemampuan fisik, keutuhan moral, kemampuan intelektual dan kepekaan terhadap aspek sosial.
Pada awal kebudayaan Romawi pendidikan dilakukan tuk menjadikan peserta didik jadi manusia yang tangguh mental (constantia), berbudi luhur, patuh terhadap tuhan, mampu menguasai diri (modestas), bermartabat (gravitas), bijaksana, dan adil (Soenarya). Kehadiran agama islam juga telah mempengaruhi pada bidang pendidikan, dimana tujuan utamanya adalah mendidik agar manusia menjadi insan kamil yang dapat berperan sebagai khalifah dimuka bumi, semua itu didasarkan pada nilai-nilai yang dibawakan oleh kitab suci al quran serta tarih nabi yang memberikan contoh bagaimana hidup dan mengisi kehidupan sesuai dengan kehendak kitab suci. Dlm konteks Indonesia, pada masa awal kemerdekaan menjadikan peserta didik punya nasionalisme tinggi serta bersikap revolusioner dalam mengisi kemerdekaan menjadi bagian penting yg diharapkan dari hasil pendidikan. Pada masa orde baru, pendidikan dilaksanakan tuk membangun manusia pancasila, manusia seutuhnya yg seimbang antara mental spirutual dan material fisikal, kadang juga dusebut insan kamil. Sejak reformasi perubahan terjadi, meskipun dasar negara tetap tp ekspresi kebijakan pendidikan cenderung tak lagi memiliki, menggunakan filosofi dan nilai dominan pancasila.  Globalisasi serta jebolnya pertahanan budaya nasional atas agresi budaya global/asing menjadikan pancasila berada pd pinggiran nilai pendidikan. Trend negara maju serta merta diimitasi, sehingga fondasi pancasila dan nilai2 nya tak mampu mengakar kuat pd output pendidikan dan peserta didik.
Dalam perkembangan sisdiknas sekarang ini, pendidikan sekolah cenderung lebih berorientasi pragmatis, atau mungkin lebih tepat semi pragmatis/progresivis/ rekonstruksionis,  Perubahan, norma, nilai universal demokrasi menjadi rujukan dlm pendidikan, pembelajaran tanpa mengkritisi atau mempertanyakan keterkaitan dg nilai berbangsa dan bernegara, tanpa melihat dalam radar Pancasila. Disamping itu  nilai tunai dari sesuatu  kondisi, proses pendidikan, cukup mendominasi dengan kuantifikasi yang menonjol serta ekonomisasi yang juga dominan dalam melihat hasil dari suatu proses pendidikan yang diperankan oleh sekolah, kekaburan atau keremangan pendidikan dan pengajaran, antara pendidikan dan latihan cenderung menjadi bagian yang umum dalam pemahaman masyarakat,  dengan akibat pada makin kurangnya perhatian pada penguatan norma dan nilai prilaku sosial kemasyarakatan berbasis nilai ideologi bangsa yang pada tahap awal perkembangan pendidikan sekolah menjadi orientasi utamanya sebagai bagian penting yang diharapkan masyarakat.
Ketika nilai2 masyarakat, pandangan hidup bangsa serta pemikiran filosofis pendidikan hendak diterapkan dalam suatu proses pendidikan atau kejadian pendidikan dlm kehidupan sosial, maka aspek individu yg bagaimana yg dapat merefleksikan semua nilai2 tersebut. Masalahnya adalah apakah kebaikan individu yg dihasilkan pendidikan harus selalu sama dg kebaikan masyarakatnya ataukah kebaikan individu itu hanya sebagai tiang penguat yg tak harus sama, ini cukup rumit karena ketika bicara individuasi pendidikan variasi akan pasti ada, jika demikian apakah masyarakat bisa punya alasan logis dan etis sekaligus filosofis, jika harus diseragamkan. Nah disini  diskusi etis tentang hakekat diri manusia (peserta didik) menjadi perdebatan secara normatif. Apakah hakekat diri (individu) itu ?, apakah itu sesuatu yg alamiah kodrati, atau sesuatu yg bersifat adikodrati, apakah diri itu terisolasi dan terpenuhi dlm dirinya sendiri atau sebagai satu aspek diri sosial, ataukah diri itu sendiri hakekatnya bersifat sosial (mohon maaf jika agak sedikit membingungkan, kedepan insya Allah akan makin remang terang)..
Dlm perkembangan modern, dg orientasi pemahaman dan pemikiran hidup yg berpusat pd manusia (antrophocentris), pencapaian kebahagiaan hidup manusia berada pd diri manusia itu sendiri secara alamiah/kodrati, dimana aktualisasi diri menjadi tujuan hidup sekaligus juga menjadi hal yg diupayakan oleh pendidikan, suatu kondisi alamiah yg tak memerlukan pemahaman dan kriteria nilai dari luar (seperti sifat adikodrati), dimana nilai meresap dan terserap melalui doktrin motologi ataupun Agama yg di indoktrinasikan melalui proses pendidikan, belajar, kejadian pendidikan dalam masyarakat. Dunia sekitar tak lagi sebagai dunia yg dihayati, namun dunia yg difikirkan, dan itu berarti membuat jarak pemikiran dan penghayatan jadi terpelihara, sehingga ketika perwujudan diri dapat membuat hidup yg membahagiakan bg peserta didik, namun ketika difikirkan, sering itu Kontraproduktif dg apa yg diharapkan masyarakat akan hasil pendidikan, dimana tuntutan ekonomi dan sosial menjadikan nilai perwujudan diri tak bermakna dalam timbangan kebutuhan msyarakat, yg mana sifat kompetitif cenderung jadi poin penting dg ukuran suksesnya dapat dg mudah bekerja, menghasilkan sesuatu yg tak menyulitkan, merepotkan masyarakat.
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar tentang perwujudan diri/realisasi diri, atau hakekat diri. "Apakah itu merupakan kebaikan yg langsung serta merta yg bisa jadi cara berbeda?" untuk melihat kebahagiaan personal, dlm bahasa yg lebih lugas empiris "apakah lulusan suatu lembaga pendidikan yg dpt memanjat tingkat berikutnya (melanjutkan pendidikan atau bekerja) merupakan orang2 yg beraktualisasi diri serta berbahagia dengannya?, atau itu hanya tahapan antara untuk perwujudan diri yg sebenarnya, apakah nilai yg harus dijadikan timbangan terhadapnya melekat dlm diri tsb ataukah mesti gunakan nilai adikodrati (dari ajaran agama, nilai budaya) untuk melihat sesuatu itu membuat diri yg bahagia?.
Bila perwujudan diri merupakan penyempurnaan diri yg langsung, maka dengan mempertimbangkan variasi manusia, akan ada jutaan diri yg khas dan akan terus menerus saling meneguhkan dlm variasi yg kompleks sehingga integrasi  dan komunikasi sosial akan terus diapdate manakala ketemu dg orang lain karena pengenalannya akan sangat spesifik individu. Klw dia seorang guy maka biarkan dia jadi dirinya sendiri seperti itu, dan ini tentu akan selalu jadi masalah penyesuaian yg tak berujung. Namun bila perwujudan diri merupakan cara dlm mencapai keberadaan diri yg lain yg menjadi kebahagiaan hidupnya, maka nilai adikodrati tentu harus berperan. Dalm proses perwujudan dirinya, inilah sebenarnya makna pendidikan dlm konteks kehidupan sosial masyarakat.
Pendidikan sebagai belajar terkontrol tentu mengharapkan perwujudan diri dalam batas kapasitas manusia dlm menjalani hidupnya kedepan. Disini peruban perilaku menjadi konsern utama pendidikan. Perwujudan diri, apakah dilihat sebagai tujuan akhir (kondisi membahagiakan dlam dirinya) araupun tujuan antara (sarana tuk mecapai kebahagian diri), perlu mempertimbangkan prulakunya dlm melihat kontribusi proses pendidikan. Perubahan prilaku macam apa yg dikehendaki pendidikan. Disini kita perlu melihat jenis prilaku yg terjadi pada peserta didik (manusia). Terdapat 3 jenis prilaku dilihat secara evolutif kematangan: 1) Prilaku Konatif, yaitu prilaku yg secara tersirat memiliki tujuan, namun tidak secara sadar bertujuan seperti itu (mis. Prilaku bayi yg baru lahir secara tersirat memiliki tujuan tuk memuaskan kebutuhan, namun blm bisa menalarnya, lapar -> nangis -> nenen). 2) Prilaku Volisional, adalah prilaku konatif yg disadari tujuannya (seseorang benar2 sadar tujuan akan prilakunya).  3) Prilaku Normatif, yaitu prilaku yg diarahkan baik tersirat maupun tersurat oleh gagasan2 atau nilai2 tertentu tentang sesuatu yg dianggap baik atau dikehendaki.
Kondisi demikian tentu layak jadi ke-RISAU-an kita dg terus berupaya melakukan transformasi pendidikan dg menimbang matang, karena pendidikan yg ada cenderung menyuburkan prilaku2 konatif dan volisional, tanpa mencoba lebih keras tuk mampu menjadi prilaku normatif, karena disinilah sebenarnya esensi manusia yg mampu jadi dewasa, matang dalam hidupnya melalui ketundukan pada nilai2 yg diyakininya, baik yg bersumber dari ajaran Agama dan atau filsafat, budaya, yg terbentang dlm hamparan sejarah panjang umat manusia. Sejarah pendidikan manusia memang setua sejarah manusia itu sendiri, selalu terjadi dialog, perang, damai yg menunjukan kekuatan spiritual yg tetap, dengan yang material yg selalu berubah, dan selalu juga ada solusi alamiah yg secara sosial saling penetrasi secara lambat sampai kemudian terjadi lg konflik, perang dan damai menjadi sarana  dlm resolusi konflik. Pendidikan terus terimbas dlm aplikasinya yg kemudian jadi keyakinan dan pemikiran yg selalu diperkuat sekaligus juga ditentang manakala pemikir besar lahir. Nah sekarang budaya besar yg menekan semua bangsa tuk mengikutinya, sehingga pertahanan nilai budaya/agama suatu bangsa harus reposisi dan restrategi tuk tak ngikuti tanpa syarat, namun berbeda tidak hanya dg yang lain namun juga dg masa lalu, artinya inovasi.
Dinamika interaksi manusia, lingkungan, sejarah, budaya serta wahyu melahirkan berbagai pandangan tetang manusia dalam konteks kehidupan serta apa yang perlu dilakukan oleh pendidikan bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat. Manusia seperti apakah yg perlu dibangun, dibentuk oleh pendidikan?.  Secara individual, manusia memiliki kekhasan masing2, tak kan ada yg sama, kondisi ini menjadikan setiap manusia harus mengoptimalkan dirinya dlm kapasitas alamiah yg telah dimilikinya secara kodrati, disini menjadi diri sendiri yg khas tiap orang sebagai bentuk perwujudan diri. Ini tentu perlu melihat esensi manusia dalam eksistensi kehidupannya. Secara ontologis, terdapat dua pandangan utama dalam hal ini yaitu:  1) pandangan monisme, dan 2) pandangan dualisme. Monisme memandang manusia sebagai substansi tunggal, disini ada yg memandang wujud fisiknya (material) dan ada yg memandang wujud jiwanya (mental) sedangkan pandangan dualistik memandang bahwa manusia gabungan dua wujud yakni fisik dan jiwa (material dan mental). Bagi Monisme materialistik perwujudan diri adalah diri material, dimana kebaikan hidup diukur kesenangan jasadi, sehingga jika telah sampai ke sana berarti seseorang telah mekaktualisasikan dirinya. Bagi monisme spiritualistik/jiwa, perwujudan diri adalah menjadi mahluk ruhani, jiwa, dimana keluhuran budi dan jiwa sesuai ajaran2 Tuhan/ruhaniah menggambarkan tercapainya aktualisasi diri. Sementara pandangan dualistik memandang bahwa kebaikan ada dalam keseimbangan keduanya. Ini berarti ketika pendidikan tuk menjadikan seseorang jadi dirinya sendiri, diri yang mana yg dimaksudkan secara ontologis.
Pandangan2 dlm filsafat modern cenderung tak terlampau hirau dg masalah hakekat yg ada (ontologi), sebagai hal yg tak empiris dan tak bisa mutlak jadi dasar dalam pemikiran pendidikan. Disamping itu para penganut monistik juga sering mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada perubahan yg terjadi tanpa menilik aspek lainnya yg tak jadi perhatiannya. Yg berpandangan dualistik juga sering tetap berdebat ttg mana yg paling  menentukan kehidupan manusia, apakah esensi dan atau eksistensi manusia. Pemikir yg menolak metafisika (ontologi) berpandangan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya, manusia lahir kosong dan wujudnya /eksistensinya dg pengalaman lah yg membangun esensinya sebagai manusia, tak perlu atau tak terkait dg nilai adikodrati yg dibawa dg kelahirannya ke dunia, jadi mau jadi apapun adalah lingkungan pengalaman yg membentuknya. Pemikiran seperti ini melihat nilai sebagai hal yang relatif, gak ada nilai yang perlu diwariskan karena semua dibentuk berdasarkan pengalaman eksistensial yg dijalaninya, hidup adalah keterlemparan dlm horizon waktu dan manusia memaknainya. Pendidikan dewasa ini kuat sekali dipengaruhi oleh pemikiran demikian, nilai global lah yg jadi acuan dengan sistem demokrasi, 6 literasi, 4 kompetensi, dan 6 karakter yg durumuskan dg jargon ketrampilan abad 21 yg juga jadi acuan pendidikan nasional dewasa ini. Tak satupun terkait langsung dg nilai agama araupun pancasila (kecuali kita mengkaitkannya), nah dg kondisi ini apakah tidak cukup alasan bagi bangsa untuk RISAU dg pembangunan pendidikan kita, tentu bukan tuk dihentikan tapi lebih pada bagaimana men-transformasikannya agar bermanfaat lebih signifikan bagi bangsa dan manusia Indonesia, bukan sekedar membanyakan obat gosok, namun berani mengoperasinya dan mengamputasinya: "SISDIKNAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ontologi Pendidikan

Pendidikan Hati

Ibnu Khaldun tentang Pendidikan