Krisis Pendidikan (2)

Pendidikan dlm efeknya yg sosial merupakan bangun bersama individu2 yg menjalani pendidikannya, namun kumpulan induvidu tak dapat serta merta jadi bangun sosial efek pendidikan, oleh karena itu pencermatan keduanya (individu dan sosial) perlu keseimbangan dalam suatu pertemuan nilai yg sejalan dlm substansinya bukan sekedar permukaan (bukan dise-suai2-kan). Perwujudan diri individu yg selalu bermuatan nilai dlm menyempurnakan potensi konstruktifnya, akan membentuk perwujudan sosial masyarakatnya jika terdapat kohesivitas sistem yg merangkumnya, disini prilaku dan kebijakan sosial masyarakat harus menjadi bagian utama dalam membangun kebaikan masyarakat. Para pemikir pendidikan, filosof moral umumnya melihat potensi manusia secara normatif positif, sementara lawannya dipandang sebagai ketiadaan perwujudan potensi. Kondisi ini tentu membingungkan manakala terdapat kejahatan, ketidak baikan yg terjadi, apakah itu potensi manusia atau ketiadaan potensi yg terwujud. Hal ini tentu akan terus membingungkan manakala nilai2 diserahkan pada pengalaman empiris tanpa mempertimbangkan nilai adikodrati yg dlm bentangan sejarah manusia telah menunjukan peran reformatif dan atau peran revolutif tatanan sosial yg dipicu oleh gerakan bangun individu yg meng-aktualisasi-kan dirinya dlm konteks perbaikan mutu hidup masyarakat.

Perwujudan diri, atau aktualisasi diri dlm jalan pendidikan seseorang merupakan sesuatu yg berdasarkan keyakinan dan nilai yg ada dalam kedewasaan itu sendiri. Masalahnya makna apa yg berikan kepadanya sebagai sesuatu yg bernilai  ditentukan oleh perspektif atau sudut pandang orang tsb. Paling tidak terdapat beberapa perspektif tentang perwujudan diri (atau menjadi diri sendiri) yg membantu memahami kondisi sesuatu yg dipandang bernilai, yaitu: 1) pandangangan/pendekatan psikologistik-individualistik; 2) pandangan/pendekatan sosiologis; 3) pandangan/pendekaran kooperatif; dan 4) pandangan/pendekatan Teistik. Basis pandangan pemikiran tsb merupakan pendekaran dalam melihat perwujudan diri yg dlm pilar pendidikan UNESCO dusebut “Learning to be” yg dimaknai sebagai belajar menjadi diri sendiri, atau belajar tuk mengaktualusasikan diri dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Ketika seorang mengatakan “aktualusasikan diri sendiri,  jadilah diri sendiri”,  jelas ini tak memberi makna nilai apapun, diri sendiri yg gimana? “Yang individu; Yang sosial; Yang kooperatif, atau Yang Teistik/ketuhanan”, bila sudah jelas pilihannya, apakah sesuai dan relevan dengan nilai budaya masyarakat, komunitas?. Ternyata tidak sesederhana seperti yg sering kita katakan dan kita dengar…menyederjanakannya bisa saja, tapi tak kan bisa buat itu sederhana, karena implikasi praktisnya dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan akan berdampak pd masyarakat yg ingin dibangun ke depan.

Pendekatan psikologik individualistik, memandang bahwa perwujudan diri merupakan penyempurnaan diri pada sesuatu nilai yg diyakini ada dalam diri individu itu sendiri. Pendekatan ini sering dihubungkan dg psikolog humanistik seperti Maslow, Carl Rogers yg memandang “diri” sebagai unit psikologis dg karakteristik khas sebagai sifat2 hakiki manusia yg tertanam dalam dirinya yg terus membuka diri, berinteraksi dg lingkungan yg terus berubah dlm dialektika antara “ada-tiada-menjadi”, antara “mengada dan menjadi (being and becoming, dlm O’neil, 1981). Apabila pendekatan seperti ini maka nilai menjadi sangat subjektif, jika orang meyakini manusia itu homo ekonomikus sebagai nilai utama maka perwujudan dirinya tentu akan dilihat dari aspek ekonomi tersebut, jika diri yakin berhakekat binatang maka perwujudan dirinya adalah kebinatangannya, jika yakin kebebasan individu, maka perwujudan dirinya adalah individualistik egoistik. Disini tentu akan memuculkan masalah etika baik-buruk, apakah nilai  hidup dan kehidupan diserahkan atau dibiarkan pada pengalaman masing2 individu atau bagaimana?, jika manusia tsb berupaya merubah lungkungannya sesuai nilai pengaktualisasian dirinya, apakah tidak akan chaos/kacau, sehingga sulitlah masyarakat dapat stabil dalam melanjutkan kehidupannya. disinilah perspektif lainnya jadi penting tuk menimbang hal tersebut.

2). Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini melihat Diri lebih ke masyarakat (bukan individu), sehingga perwujudan diri adalah perwujudan “diri sosial”. Diri tidak lagi dipandang sebagai unit psikologis/individu yg terpisah dari kekuatan, kondisi sosial budaya dimana seseorang dilahirkan dan hidup di dalamnya. O’neil (1981) mengemukakan bahwa dlm pendekatan ini perwujudan Diri dibatasi/didefinisikan dan dirumuskan oleh hakekat serta derajat konsep tertentu tentang “Diri” yg disebarluaskan dlm masyarakat tertentu dalam titik2 tahapan sejarah. Individu tunduk pada suatu sistem sosial masyarakat yg kuat, diri menjadi diri sosial yg selaras dg sistim sosial yg berlaku di masyarakat. Jika masyarakat menganut sistim sosialis marxis yang atheis, maka tak mungkin ada individu memiliki komitmen moral, nilai yg bermakna dln perwujudan diri dlm arti psikologis individualis, karena tak sejalan dg sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu perwujudan diri sosial tidak melihat nilai subjektif individu jadi penting dalam pengaktualisasian diri, namun tentu saja mengingkari karakteristik khas manusia akan mendegradasi keunikannya sebagai hayawanu nathiq/homo sapien.

3). Pendekatan kooperatif. Individu yg menentukan menujukkan pada kurang diperhatikannya lingkungan sosial budaya masyarakat, sementara diri sosial kurang memperhatikan individu dg kemampuan berfikir, merasa dan bertindak, oleh karena itu pendekatan ini boleh dipandang untuk mendialogkan kedua pemikiran yg bisa saja ada distorsi dalam tataran implemenrasinya. Ke-diri-an pd dasarnya adalah fenomena suprapersonal (duluar,diatas individu) yg ada pd kesadaran historis segenap budaya atau bangsa. Perwujudan diri merupakan akibat yg wajar dari partisipasi jati diri individu yg membentuk jati diri kooperatif, atau jatidiri kolektif. Dengan pola ini diri individu kerjasama saling berefek meski menurut pemikiran ini “DIRI SEJATI” adalah kolektiviras sosial yg mampu lebih besar dari jumlah, dan individu dipandang dlm keseluruhan sistem sosial, meski ada kontribusi dlm pembentukannya. Sementara itu pendekatan yang ke 4). Pendekatan Teistik, dg pandangan bahwa manusia adalah terutama dan pertama2 sebagai entitas/makhluk rohaniah, yg perwujudan dirinya dusubordinasikan pada ajaran wahyu, dan secara sukarela berada dlm kekuasaan Tuhan, serta puncaknya ada dalam persekutuannya dg diri  Tuhan yg maha agung.

Empat pendekatan dalam melihat diri individu (perwujudan diri/aktualisasi diri) merupakan kerangka berfikir dlm melihat apa bagaima dan untuk apa pendidikan bagi manusia, bagi masyarakat. Walaupun tidak secara eksplisit dijelaskan — misal : Negara ini perspektifnya begini — namun tentu saja dari praktek, arah dan tujuan pendidikannya dpt diketahui, meski tak selalu koheren dlm satu perspektif. Di negara berkembang seperti Indonesia, keterombang-ambingan kebijakan pendidikan cenderung seperti bandul yg bergerak kekiri kekanan dan sulit berada pada posisi ajeg seimbang, karena dominasi negara maju dg program dan dananya masuk ranpa melihat ketepatan dg ideologi negara Pancasila yg belakangan mulai lagi jadi isu nasional akan pentingnya dijadikan dasar dlm kehidupan bermasyarakat (terlepas dari jargon politik, masa orde baru hampir semua sistem dlm bidang kehidupan masyarakat selalu durujukan pd pancasila seperti: sistem politik pancasila, sistem ekonomi pancasila, sistem pendidikan Pancasila, dsb, pasca reformasi terjadi pelemahan mengaitkan sistem dg ideologi negara). Klw Dasar Negara Pancasila merupakan hasil penggalian dari nilai2 yg tumbuh berkembang pd bangsa Indonesia, tentu sangat tepat  jika semua mengacu ke sana termasuk Pendidikan, namun fakta menunjukan berat sekali, karena kekuatan ideologi liberalisme, neo liberal serta dalih globalisasi, berderless world, menjadikan posisi ideologis cenderung inferior berhadapan dg nya, apalagi upaya membentengi oleh pemerintah belakangan ini lebih sebagai isu politis kekuasan yg tak mengakar dalam cara berfikir dan jadi paradigma ilmu dlm mengkaji  kondisi yg ada serta mencari solusi ideologis yg berdasar Pancasila….(sedikit refleksi sutuasi, sebelum lanjut bahasan selanjutnya).

Perwujudan diri dan atau aktualisasi diri dlm konteks pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah totalitas kedirian manusia sebagai makhluk hidup yg memiliki fungsi, peran dan tugas dlm kesinambungan hidup dan kehidupan manusia, masyarakat. Namun kedirian yg bagaimana yg layak menjadi arah dan tujuan pedidikan menjadi hal yg rumit mengingat banyak konteks yg berpengaruh pd penentuan pilihan serta banyak tingkat yg perlu ditegaskan untuk memperterang bangun manusia, masyarakat yg diharapkan dari suatu proses pendidikan.  Dalam kehidupan sosial yg dinamis dimana perubahan menjadi realitas faktual, bagaimana perwujudan diri yg tepat dan dapat dipandang sebagai hidup yg baik, ketika pandangan sosial budaya masyarakat bervariasi tentang nya. O’neil mengemukakan 6 sudut pandang ttg bagaimana caranya hidup yg baik: 1. Ketaatan pd ketentuan  yg terungkap pd keyakinan dan.prilaku. 2. Pencerahan filosofis dan atau keagamaan. 3. Taat pd konvensi ttg keyakinan dan prilaku. 4. Kecerdasan praktis dlm pemecahan masalah. 5. Pengembangan lembaga2 sosial yg baru. 6. Penghapusan pembatasan2 kelembagaan tuk kebebasan individual.

Perwujudan diri yg ingin dibangun dan dikembangkan dlm sistem pendidikan suatu masyarakat selalu menunjukan atau merefleksikan tujuan2 hidup dan kehidupan masyarakatnya, sehingga esensinya adalah membuat manusia hidup dg kebaikan tertinggi yg membahagiakan. Perspektif, pendekatan perwujudan diri bila disederhanakan dpt dibagi dua yaitu yg “Teistik” dan yang “sekular”, berdasar kemutlakan nilai yg menjadi kriterianya. Bg masyarakat yg menjadikan Agama  Wahyu Tuhan sebagai pedoman hidup, maka, ideal normatif nya, perwujudan diri adalah menjadikannya sebagai manusia yg yakin dan mengabdi pada Tuhan, ini tentu dilihat dlm konteks holistik yg mencakup berbagai kegiatan manusia dlm mengisi kehidupannya sebagai Makhluk Tuhan (Beriman dan bertakwa). Semenrara itu perwujudan diri dlm perspektif sekuler (non-Teistik) kebaikan merujuk pd hal material dan sosial meskipun ada yg mengacu pd nilai yg muncul dari budaya, pemikiran filsafat. Namun perkembangan sosial yg pesat dewasa ini telah mendorong perwujudan diri pada nilai praktis serta nilai2 sosial kontemporer, seperti demokrasi, HAM (sebagai tolok ukur yg dipandang mapan, serta lembaga2 yg dipandang humanis serta hilangnya pembatasan2 kelembagaan). Sementara itu kebaikan hidup yg meletakannya pd kecerdasan praktis lebih menggambarkan pergulatan sosial ekonomi dimana ketercapaian situasi ekonomi yg layak menjadi fokus dari perwujudan diri. Disini pragmatisme sangat kuat efeknya dlm melihat pendidikan sebagai perwujudan diri yg bersifat materialistik. Semua itu tentu tak bisa serta merta jadi ukuran penghakiman seseorang dlm perwujudan dirinya, karena tetap harus dilihat gradasi nilainnya apakah nilai akhir (terminal value) atau nilai antara (instrumental value).

Perwujudan diri manusia sebagai kebaikan hidup haruslah sesuatu pencapaian  kondisi yg melekat di dalamnya nilai utama/puncak, bersifat intrinsik tanpa perlu nilai lainnya yg lebih tinggi, karena klw masih memerlukan lagi maka itu nilai intrumental, nilai ekstrinsik, yg dituju tapi untuk mendapat yg lainnya. Disini perspektif diri yg Teistik dan sekuler berbeda dlm memberi bobot nilai pd perwujudan diri. Misalnya dlm faham sekuler kebahagiaan, kesenangan (titik berat ke materi fisikal) bisa menjadi nilai yg dituju dlm perwujudan diri dg kondisi kepuasan terpenuhi tanpa kekurangan. Nah apakah ini bisa jadi tujuan kebaikan akhir atau hanya tujuan antara untuk mendapat kondisi lebih tinggi dg nilai lain yg juga lebih tinggi. Klw siswa Sma apa perwujudan dirinya? Misal melanjutkan studi, klw smk misal dapat bekerja, lalu mana yg lebih tinggi dan mana yg lebih merupakan nilai tujuan akhir  dalam dirinya (intrinsik) sebagai kebaikan hidup. Simaklah kisah berikut ….. Seorang pengusaha berjalan di pantai dan menemukan seorang nelayan yg sedang tidur,  kemudian pengusaha itu mendekatinya dan nelayan tersebut terbangun,  lalu terjadilah dialog : pengusaha bertanya kenapa saat seperti ini tidur? Nelayan menjawab: emang harus lakukan apa? Pengusaha: ya pergilah ke laut, cari ikan yg banyak. Nelayan:  kalau dah banyak ikan bagaimana. Pengusaha:  ya nanti dijual, dapat uang banyak dan dapat memenuhi apa yg kau inginkan. Nelayan: kalau sudah banyak uang dan memenuhi apa yg saya inginkan bagaimana. Pengusaha: maka hidupmu akan senang. Nelayan: maaf pa, sy sekarang gak banyak duit juga  hidup sudah senang.

Dari dialog tsb dapat diketahui beberapa hal terkait dg nilai tujuan. Pertama tujuan yg ingin dicapai oleh keduanya (pengusaha dan nelayan) adalah kesenangan (dlm perspektif material) namun pengusaha melihatnya sebagai suatu hasil yg menyenangkan, sedang nelayan melihat dari pengalaman hidup yg menyenangkan. Bagi pengusaha nilai kesenangan merupakan nilai dari hasil suatu kegiatan, cari ikan, jual ikan, penuhi kebutuhan yg semua itu merupakan nilai antara atau nilai instrumental untuk mencapai nilai utama/akhir/nilai dasar (terminal value, basic value). Jadi bagi pengusaha pencapaian nilai utama memerlukan tahapan nilai antara yg perlu dilalui, sehingga nilai akhir merupakan efek atau penciptaan nila-nilai instrumental dan bagi pengusaha nilai kesenangan merupakan nilai kreatif (creative values. Semenrara bagi si nelayan nilai kesenangan lebih kepada sikap pd pengalaman hidupnya, dan ini yg dusebut experiential value, nilai mengalami, atau kalau nelayan tersebut senang dg menyikapi kondisi hidupnya bisa juga masuk dalam attitudinal value, nilai bersikap (kategori nilai dari victor frankle dlm logotheraphy)…pengusaha untuk sampai pd nilai kesenangan berbelit dan berliku, sementara si nelayan langsung menuju sasaran…nah bagi dunia pendudikan yg mana cara yg tepat untuk dicapai…perlu difikirkan dan didialogkan dg mempertimbangkan banyak dimensi dan aspek sosial budaya masyarakat.

Manusia hidup tentu bukan sekedar hidup, tp selalu sadar dan membangun kesadaran untuk hidup bernilai, bermakna bagi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena pendidikan merupakan bagian utama dari kehidupan manusia, maka apa yg menjadi kebaikan hidup dg hidup yg baik tentunya mesti sejalan dg hidup yg baik secara esensial sebagai ciri dasar manusia. Disini kita perlu berbicara ttg axiologi pendidikan, dimana timbangan etika (baik-buruk) juga estetika (indah-jelek) jadi timbangan nilai yg perlu dituju oleh suatu proses atau kejadian pendidikan yg dialami manusia dalam hirizon waktu hidup dan kehidupannya. Aksiologi itu sendiri bermakna pemahaman atau filsafat ttg nilai, apa yg bernilai bagi manusia dlm jalani hidupnya, dan karena pendidikan itu adalah baik hidup itu sendiri (pragmatisme), atau persiapan tuk hidup (idealisme, esensialisme),  semua itu tetap konsern utamanya adalah kehidupan manusia dlm konteks masyarakat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibnu Khaldun tentang Pendidikan

Ontologi Pendidikan

Pendidikan Hati