Sekolah Dikritik
BEBERAPA KRITIK TERHADAP PENDIDIKAN PERSEKOLAHAN
Di sekolah belajar dipisahkan dari kehidupan, sejak lahir setiap anak belajar melalui pengalamannya dengan cara sederhana dan alami, sementara disekolah mereka diajari hal-hal yang abstrak, konseptual, sehingga mendorong pada keyakinan bahwa belajar hanya bisa di sekolah dan bukan ditempat lain, seorang anak pergi kesekolah untuk belajar, dan diluar itu nampak sebagai bukan belajar. Kondisi ini berakibat pada tumbuhnya pemahaman bahwa belajar bersifat pasif, dimana anak-anak sebagai objek dan sekolah merupakan lembaga yang punya otoritas tinggi untuk menentukan apakan belajar telah terjadi atau belum. Belajar menjadi sesuatu yang orang lain lakukan untuk anak, bukan sebagai bagian dari pengalaman anak itu sendiri untukbelajar bagi dirinya. Dengan demikian maka Sekolah merupakan tempat yang buruk bagi anak-anak (manusia).
Pada tahun 1977, Holt menerbitkan Bulletin dengan tema Growing Without School (GWS), Dan cukup mendapat sambutan. Intinya adalah bahwa anak perlu bertumbuh tanpa harus sekolah. Menurut Griffith (1998) ide holt ini pada awalnya merujuk pada mengeluarkan anak dari sekolah, namun dalam perkembangannya menjadi sinonim dengan dengan sekolah di rumah (home schooling), sehingga istilah GWS menjadi makin menyempin maknanya sebagai gaya jhusus sekolah di rumah berdasarkan pembelajaran yang terpusat pada siswa.
Dengan pandangan tentang pendidikan dan metodenya, Paulo Freire sering dipandang sebagai pelopor pemikir pedagogi kritis (critical pedagogy) sebagai pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia) .Dalam karya tulisnya (bukunya antara lain : Education as the practice of liberation, Pedagogy oh the oppressed, pedagogy of the heart, The Politic of Education, Culture, Power, and Liberation) menjelaskan/mengelaborasi bagaimana pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia dari situasi sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam situasi sosial yang ada tanpa menyadari dan mengkritisi situasi tersebut.Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diridan lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep penting yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of edecation, Problem posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut terkait dengan seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat terjadi meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian yang menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran akan pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mampu dalam menghadapi tantangan perubahan yang cepat.
Illich berpendapat bahwa formalisasi pendidikan sekolah telah mengakibatkan terjadinya monopoli dala arus informasi/pendidikan, sehingga mencegahnya akan berdampak baik bagi masyarakat karena akan terwujud kondisi egaliter terhadap pengetahuan, ini disebabkan sekolah-sekolah didasarkan pada hipotesis palsu, bahwa pengetahuan adalah hasil pengajaran berdasarkan kurikulum. Lebih jauh Illich berpendapat bahwa sesungguhnya elajar itu adalah kegiatan manusiawi yang paling tidak memerlukan manipulasi oleh orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupalam hasil partisipasi bebas dalam masalah-masalah yang penuh arti (1971:56)
Perlunya membebaskan masyarakat dari sekolah karena ketidak mungkinan sekolah dapat mencapai tujuan pendidikan yang menurut Illich (Deschooling Society,1971/Wikipedia,) terdapat tiga tujuan sistem pendidikan yang baik yaitu:
Kondisi demikian akan mendorong pada pemberdayaan siapapun untuk berbagi apa yang diketahuinya pada siapapun yang memerlukannya, sehingga pendidikan dapat benar benar menjadi suatu masyarakat yang mengintegrasikan manusia menuju pengembangan dan kemajuan mutu hidup dan kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada terbukanya isu-isu yang kreatif dan menantang pada masyarakat sehingga makin dewasalah masyarakat karena sekolah yang menjadi bagian pendewasaan itu. Memang ini kedengarannya absurd, namun ini adalah harapan dan tujuan yang perlu diperhatikan dan diformulasikan dalam tataran institusi pendidikan sekolah, sehingga sekolah tidak menjadi jembatan rapuh ataupun jembatan yang hanya mengantar pada suatu pulau sendirian tanpa makna relasi, tanpa makna interaksi, dan tanpa menghidupkan hidup dan kehidupan masyarakat sebagai ibu kandung dan anak kandung sekaligus.
Postman mengkritisi sekolah terkait dengan strategi dan manajemen organisasi sekolah yang cenderung kurang memikirkan masalah metafisik, dengan tetap percaya bahwa kelembagaan sekolah tetap diperlukan, karena sekolah akan berlangsung terus sebab tidak ada seorangpun yang bisa membuat cara yang lebih baik dalam mengenalkan para kaum muda kita terhadap dunia belajar selain sekolah. Sekolah umum akan terus berlangsung karena tidak ada seorangpun yang bisa membuat cara yang lebih baik dalam menciptakan ruang publik selain sekolah. Jadi intinya perlu perbaikan dalam tujuan pendidikan sekolah, dan buka untuk menghapuskan sekolah, karena lembaga pendidikan ini masih tetap diperlukan masyarakat dalam membangun ruang publik untuk belajar.
- John holt (1969), School is bad for children
Di sekolah belajar dipisahkan dari kehidupan, sejak lahir setiap anak belajar melalui pengalamannya dengan cara sederhana dan alami, sementara disekolah mereka diajari hal-hal yang abstrak, konseptual, sehingga mendorong pada keyakinan bahwa belajar hanya bisa di sekolah dan bukan ditempat lain, seorang anak pergi kesekolah untuk belajar, dan diluar itu nampak sebagai bukan belajar. Kondisi ini berakibat pada tumbuhnya pemahaman bahwa belajar bersifat pasif, dimana anak-anak sebagai objek dan sekolah merupakan lembaga yang punya otoritas tinggi untuk menentukan apakan belajar telah terjadi atau belum. Belajar menjadi sesuatu yang orang lain lakukan untuk anak, bukan sebagai bagian dari pengalaman anak itu sendiri untukbelajar bagi dirinya. Dengan demikian maka Sekolah merupakan tempat yang buruk bagi anak-anak (manusia).
Pada tahun 1977, Holt menerbitkan Bulletin dengan tema Growing Without School (GWS), Dan cukup mendapat sambutan. Intinya adalah bahwa anak perlu bertumbuh tanpa harus sekolah. Menurut Griffith (1998) ide holt ini pada awalnya merujuk pada mengeluarkan anak dari sekolah, namun dalam perkembangannya menjadi sinonim dengan dengan sekolah di rumah (home schooling), sehingga istilah GWS menjadi makin menyempin maknanya sebagai gaya jhusus sekolah di rumah berdasarkan pembelajaran yang terpusat pada siswa.
- Everett Reimer, School is Dead (1969)
- Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed
Dengan pandangan tentang pendidikan dan metodenya, Paulo Freire sering dipandang sebagai pelopor pemikir pedagogi kritis (critical pedagogy) sebagai pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia) .Dalam karya tulisnya (bukunya antara lain : Education as the practice of liberation, Pedagogy oh the oppressed, pedagogy of the heart, The Politic of Education, Culture, Power, and Liberation) menjelaskan/mengelaborasi bagaimana pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia dari situasi sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam situasi sosial yang ada tanpa menyadari dan mengkritisi situasi tersebut.Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diridan lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep penting yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of edecation, Problem posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut terkait dengan seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat terjadi meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian yang menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran akan pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mampu dalam menghadapi tantangan perubahan yang cepat.
- Ivan Illich, Deschooling Society (1971)
Illich berpendapat bahwa formalisasi pendidikan sekolah telah mengakibatkan terjadinya monopoli dala arus informasi/pendidikan, sehingga mencegahnya akan berdampak baik bagi masyarakat karena akan terwujud kondisi egaliter terhadap pengetahuan, ini disebabkan sekolah-sekolah didasarkan pada hipotesis palsu, bahwa pengetahuan adalah hasil pengajaran berdasarkan kurikulum. Lebih jauh Illich berpendapat bahwa sesungguhnya elajar itu adalah kegiatan manusiawi yang paling tidak memerlukan manipulasi oleh orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupalam hasil partisipasi bebas dalam masalah-masalah yang penuh arti (1971:56)
Perlunya membebaskan masyarakat dari sekolah karena ketidak mungkinan sekolah dapat mencapai tujuan pendidikan yang menurut Illich (Deschooling Society,1971/Wikipedia,) terdapat tiga tujuan sistem pendidikan yang baik yaitu:
- it should provide all who want to learn with access to available resources at any time in their lives; (hendaknya menyediakan pada seluruh yang mau belajar akses sumberdaya yang tersedia kapan saja sepanjang hayat)
- empower all who want to share what they know to find those who want to learn it from them; (memberdayakan semua yang ingin berbagi apa yang diketahuinya untuk menemukan mereka yang ingin belajar darinya),
- finally, furnish all who want to present an issue to the public with the opportunity to make their challenge known (melengkapi semua yang ingin menyampaikan sebuah isu pa publik dengan kesempatan guna membuat tantangan/fikiran mereka diketahui)[3]
Kondisi demikian akan mendorong pada pemberdayaan siapapun untuk berbagi apa yang diketahuinya pada siapapun yang memerlukannya, sehingga pendidikan dapat benar benar menjadi suatu masyarakat yang mengintegrasikan manusia menuju pengembangan dan kemajuan mutu hidup dan kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada terbukanya isu-isu yang kreatif dan menantang pada masyarakat sehingga makin dewasalah masyarakat karena sekolah yang menjadi bagian pendewasaan itu. Memang ini kedengarannya absurd, namun ini adalah harapan dan tujuan yang perlu diperhatikan dan diformulasikan dalam tataran institusi pendidikan sekolah, sehingga sekolah tidak menjadi jembatan rapuh ataupun jembatan yang hanya mengantar pada suatu pulau sendirian tanpa makna relasi, tanpa makna interaksi, dan tanpa menghidupkan hidup dan kehidupan masyarakat sebagai ibu kandung dan anak kandung sekaligus.
- Neil Postman,The End of Education (1995)
Postman mengkritisi sekolah terkait dengan strategi dan manajemen organisasi sekolah yang cenderung kurang memikirkan masalah metafisik, dengan tetap percaya bahwa kelembagaan sekolah tetap diperlukan, karena sekolah akan berlangsung terus sebab tidak ada seorangpun yang bisa membuat cara yang lebih baik dalam mengenalkan para kaum muda kita terhadap dunia belajar selain sekolah. Sekolah umum akan terus berlangsung karena tidak ada seorangpun yang bisa membuat cara yang lebih baik dalam menciptakan ruang publik selain sekolah. Jadi intinya perlu perbaikan dalam tujuan pendidikan sekolah, dan buka untuk menghapuskan sekolah, karena lembaga pendidikan ini masih tetap diperlukan masyarakat dalam membangun ruang publik untuk belajar.
- Hyman dan Snook, Dangerous Scholl (1999)
- Disiplin dan pengawasan berdasarkan ketakutan dan intimidasi
- Interaksi manusia yang rendah, karena guru kurang tertarik berkomunikasi, peduli serta sikap pada murid yang abai, terisolasi serta penolakan (tidak menerima apa adanya)
- Kesempatan siswa yang terbatas untuk mengembangkan ketrampilan yang memadai serta perasaan berharga.
- Mendorong ketergantungan dan kepatuhan buta, khususnya pada hal hal yang siswa mampu mandiri melakukannya
- Teknik memotivasi yang terlalu kritis, terlalu menuntut, tak masuk akal, dan mengabaikan usia dan kemampuan anak.
- Menolak kemungkinan siswa untuk mengambil resiko yang sehat seperti mengeksplorasi ide yang tidak biasa dan tidak disetujui guru
- Kekerasan verval seperti sarcasme, menyindir, merendahkan, dan merusak nama baik
- Mengkambing hitamkan siswa serta mem-buly
- Gagal mengintervensi ketika siswa diperolok, di buly, dan dikambing-hitamkan oleh teman-temannya.
Komentar
Posting Komentar